KESENIAN tradisional Gong Sibolong Pusaka Jaya merupakan kesenian asli daerah Kota Depok. Namun sayangnya kesenian yang merupakan aset Kota Depok itu kini terancam punah. Sebab, saat ini tidak ada generasi muda di Kota Depok yang mau mempelajari kesenian tersebut.
"Saya sudah mencari anak-anak muda yang ingin belajar kesenian Gong Sibolong. Bahkan mereka tidak harus membayar. Tapi tetap saja anak-anak muda itu tidak mau," kata generasi penerus ketujuh kesenian Gong Sibolong, Buang Jayadi, di rumahnya di Jalan Tanahbaru Raya Gang Empang III RT 01/07 No 9, Tanahbaru, Beji, Depok, Jawa Barat.
Menurut Buang, anak-anak muda saat ini lebih tertarik belajar musik modern ketimbang belajar kesenian tradisional. Di antaranya musik pop, dangdut, dan marawis. Bahkan ketika dia menyediakan pengeras suara layaknya di studio musik, anak-anak muda itu tidak tertarik. Mereka lebih memilih berlatih musik modern.
"Saya tidak tahu kenapa anak-anak muda tidak tertarik belajar kesenian Gong Sibolong. Mungkin secara materi tidak menjanjikan. Anak saya saja tidak ada yang mau karena mereka tidak terlalu suka dengan kesenian," ujar ayah lima anak ini.
Dikatakan Buang, saat ini yang terus melestarikan kesenian Gong Sibolong adalah dia dan 14 orang rekannya. Walaupun berpenghasilan minim dari menjalankan kesenian tersebut, mereka tetap bertahan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada yang menjadi tukang ojek, bertani, hingga menjadi kuli bangunan
"Kami yang sudah tua-tua ini yang tetap bertahan menjalankan kesenian ini. Sebulan kadang manggung dua kali, kadang kosong. Tidak tentu. Yah walaupun kami harus bersaing dengan organ tunggal, peminat kami masih ada. Sekali manggung dibayar Rp 6 juta," ujarnya.
Meski tidak ada anak muda yang mau meneruskan kesenian tersebut, Buang bisa sedikit tersenyum. Sebab, dia sudah mendapatkan sepasang remaja untuk meneruskan Tari Nayub. Mereka adalah warga Kampung Tanahbaru RW 12.
Buang mengatakan, hingga saat ini belum ada bantuan dana dari Pemkot Depok untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian Gong Sibolong. Padahal, Gong Sibolong itu sudah diakui sebagai kesenian asli Depok. Bahkan, Gong Sibolong sempat menjadi juara pertama dalam pergelaran kesenian se-Jawa Barat tahun 2008.
"Waktu Wali Kota Depok sebelumnya kami mendapatkan bantuan dana, tapi sekarang tidak lagi. Kalau anak-anak latihan kan perlu bensin," ujar suami Sri Ratna Yuningsih yang juga merupakan sinden asal Karawang ini.
Kesenian Gong Sibolong ditemukan pada tahun 1549 Masehi. Saat itu seorang alim ulama dari Ciganjur bernama Jimin sering mendengar suara gamelan di Kampung Tanahbaru pada malam hari. Ciganjur dengan Tanahbaru berdekatan sehingga suara gamelan itu bisa terdengar hingga Ciganjur. Apalagi kawasan sekitarnya berupa hutan dan rawa, belum banyak polusi dan kebisingan, sehingga suara gamelan bisa terdengar dari kejauhan.
Jimin terus mencari asal muasal suara gamelan tersebut. Dengan keteguhan hati dan doa, dia akhirnya menemukan seperangkat alat gamelan di curug (air terjun) aliran Sungai Krukut. Saat itu Jimin hanya mampu membawa gong yang sudah bolong, gendang, dan bende.
Dengan susah payah Jimin pun mengangkut tiga alat musik itu ke rumahnya. Setelah itu, dia membawa empat temannya untuk mengambil sisa alat gamelan. Namun alangkah kagetnya Jimin, karena ketika sampai di curug itu dia tidak melihat sisa alat gamelan tersebut. Jimin kemudian memberi nama ketiga alat gamelan itu Si Gledek. Nama itu dia tetapkan karena bunyi ketiga alat tersebut keras sekali laksana gledek
Tak lama setelah menemukan gamelan itu Jimin terserang penyakit gatal-gatal dan bengkak. Dia berusaha menyembuhkan penyakitnya, namun tak jua sembuh.
Jimin pun kemudian menyerahkan ketiga alat gamelan itu kepada Anim di Kampung Curug. Namun, Anim adalah ahli agama dan dia tidak mau merawat gamelan itu. Kemudian gamelan itu diserahkan ke Jerah atau Galung.
Di tangan Jerah-lah Gong Sibolong lengkap menjadi sebuah kesatuan alat musik gamelan. Jerah menambahkan satu set gendang, dua set saron, satu set kromong, satu set kedemung, satu set kenong, terompet, bende, dan gong besar.
Pada zaman Jerah pulalah kesenian Gong Sibolong jaya. Bahkan, Gong Sibolong dikultuskan masyarakat dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Dari Jerah, Gong Sibolong jatuh ke tangan Saning, Nyai Asem. Baharuddin alias Bagol, Buang Jayadi, Kamsa, dan kembali ke tangan Buang.
Bagi Buang, awalnya tidak terpikir dalam benaknya untuk terjun menjadi seniman. Namun karena desakan Jerah dan kebutuhan ekonomi, akhirnya anak ketiga dari tujuh bersaudara itu mau membantu Jerah. Saat itu dia duduk di kelas 2 Sekolah Rakyat Pondokcina (lokasinya di Detos sekarang).
Buang awalnya menjadi tukang pikul gamelan. Walaupun masih duduk di bangku kelas 2 SR, dia mampu memikul alat-alat musik itu ke wilayah Sukmajaya, Parung, Pondokcabe, Ciganjur, Ciledug, dan Bekasi.
"Waktu itu upahnya bisa satu setengah perak hingga seringgit. Uang itu buat bantu-bantu orangtua sama bayar sekolah. Walau masih kecil saya kuat manggul. Jalannya bareng-bareng. Dulu kan masih banyak hutan dan persawahan, jadi masih adem," katanya.
Pada tahun 1980-an Gong Sibolong sempat jatuh dan bagian pinggirnya pecah. Buang pun membuat duplikatnya. Sejak itulah pada setiap manggung Gong Sibolong yang asli tidak dibawa serta.
Gong Sibolong kini berada di rumah Buang. Gong tersebut ditempatkan secara khusus dan dirawat khusus pula setiap bulan Muharam.
Kepala Bidang Pariwisata, Seni, dan Budaya pada Dinas Olahraga, Pemuda, Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Depok Syaifudin Lubis menjelaskan, sebagai bentuk perhatian maka Pemkot Depok akan membukukan not-not irama Gong Sibolong. Tujuannya agar masyarakat dapat mempelajarinya.
Selain itu, pemkot kerap mengajak serta Kesenian Gong Sibolong tampil di berbagai acara. Misalnya pada Festival Depok.
"Untuk bantuan pendanaan, kami akan mengusulkan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat," ujar Syaifudin Lubis.
Sumber: Dodi Hasanudin, Warta Kota, 25-26 Januari 2010
"Saya sudah mencari anak-anak muda yang ingin belajar kesenian Gong Sibolong. Bahkan mereka tidak harus membayar. Tapi tetap saja anak-anak muda itu tidak mau," kata generasi penerus ketujuh kesenian Gong Sibolong, Buang Jayadi, di rumahnya di Jalan Tanahbaru Raya Gang Empang III RT 01/07 No 9, Tanahbaru, Beji, Depok, Jawa Barat.
Menurut Buang, anak-anak muda saat ini lebih tertarik belajar musik modern ketimbang belajar kesenian tradisional. Di antaranya musik pop, dangdut, dan marawis. Bahkan ketika dia menyediakan pengeras suara layaknya di studio musik, anak-anak muda itu tidak tertarik. Mereka lebih memilih berlatih musik modern.
"Saya tidak tahu kenapa anak-anak muda tidak tertarik belajar kesenian Gong Sibolong. Mungkin secara materi tidak menjanjikan. Anak saya saja tidak ada yang mau karena mereka tidak terlalu suka dengan kesenian," ujar ayah lima anak ini.
Dikatakan Buang, saat ini yang terus melestarikan kesenian Gong Sibolong adalah dia dan 14 orang rekannya. Walaupun berpenghasilan minim dari menjalankan kesenian tersebut, mereka tetap bertahan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada yang menjadi tukang ojek, bertani, hingga menjadi kuli bangunan
"Kami yang sudah tua-tua ini yang tetap bertahan menjalankan kesenian ini. Sebulan kadang manggung dua kali, kadang kosong. Tidak tentu. Yah walaupun kami harus bersaing dengan organ tunggal, peminat kami masih ada. Sekali manggung dibayar Rp 6 juta," ujarnya.
Meski tidak ada anak muda yang mau meneruskan kesenian tersebut, Buang bisa sedikit tersenyum. Sebab, dia sudah mendapatkan sepasang remaja untuk meneruskan Tari Nayub. Mereka adalah warga Kampung Tanahbaru RW 12.
Buang mengatakan, hingga saat ini belum ada bantuan dana dari Pemkot Depok untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian Gong Sibolong. Padahal, Gong Sibolong itu sudah diakui sebagai kesenian asli Depok. Bahkan, Gong Sibolong sempat menjadi juara pertama dalam pergelaran kesenian se-Jawa Barat tahun 2008.
"Waktu Wali Kota Depok sebelumnya kami mendapatkan bantuan dana, tapi sekarang tidak lagi. Kalau anak-anak latihan kan perlu bensin," ujar suami Sri Ratna Yuningsih yang juga merupakan sinden asal Karawang ini.
Kesenian Gong Sibolong ditemukan pada tahun 1549 Masehi. Saat itu seorang alim ulama dari Ciganjur bernama Jimin sering mendengar suara gamelan di Kampung Tanahbaru pada malam hari. Ciganjur dengan Tanahbaru berdekatan sehingga suara gamelan itu bisa terdengar hingga Ciganjur. Apalagi kawasan sekitarnya berupa hutan dan rawa, belum banyak polusi dan kebisingan, sehingga suara gamelan bisa terdengar dari kejauhan.
Jimin terus mencari asal muasal suara gamelan tersebut. Dengan keteguhan hati dan doa, dia akhirnya menemukan seperangkat alat gamelan di curug (air terjun) aliran Sungai Krukut. Saat itu Jimin hanya mampu membawa gong yang sudah bolong, gendang, dan bende.
Dengan susah payah Jimin pun mengangkut tiga alat musik itu ke rumahnya. Setelah itu, dia membawa empat temannya untuk mengambil sisa alat gamelan. Namun alangkah kagetnya Jimin, karena ketika sampai di curug itu dia tidak melihat sisa alat gamelan tersebut. Jimin kemudian memberi nama ketiga alat gamelan itu Si Gledek. Nama itu dia tetapkan karena bunyi ketiga alat tersebut keras sekali laksana gledek
Tak lama setelah menemukan gamelan itu Jimin terserang penyakit gatal-gatal dan bengkak. Dia berusaha menyembuhkan penyakitnya, namun tak jua sembuh.
Jimin pun kemudian menyerahkan ketiga alat gamelan itu kepada Anim di Kampung Curug. Namun, Anim adalah ahli agama dan dia tidak mau merawat gamelan itu. Kemudian gamelan itu diserahkan ke Jerah atau Galung.
Di tangan Jerah-lah Gong Sibolong lengkap menjadi sebuah kesatuan alat musik gamelan. Jerah menambahkan satu set gendang, dua set saron, satu set kromong, satu set kedemung, satu set kenong, terompet, bende, dan gong besar.
Pada zaman Jerah pulalah kesenian Gong Sibolong jaya. Bahkan, Gong Sibolong dikultuskan masyarakat dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Dari Jerah, Gong Sibolong jatuh ke tangan Saning, Nyai Asem. Baharuddin alias Bagol, Buang Jayadi, Kamsa, dan kembali ke tangan Buang.
Bagi Buang, awalnya tidak terpikir dalam benaknya untuk terjun menjadi seniman. Namun karena desakan Jerah dan kebutuhan ekonomi, akhirnya anak ketiga dari tujuh bersaudara itu mau membantu Jerah. Saat itu dia duduk di kelas 2 Sekolah Rakyat Pondokcina (lokasinya di Detos sekarang).
Buang awalnya menjadi tukang pikul gamelan. Walaupun masih duduk di bangku kelas 2 SR, dia mampu memikul alat-alat musik itu ke wilayah Sukmajaya, Parung, Pondokcabe, Ciganjur, Ciledug, dan Bekasi.
"Waktu itu upahnya bisa satu setengah perak hingga seringgit. Uang itu buat bantu-bantu orangtua sama bayar sekolah. Walau masih kecil saya kuat manggul. Jalannya bareng-bareng. Dulu kan masih banyak hutan dan persawahan, jadi masih adem," katanya.
Pada tahun 1980-an Gong Sibolong sempat jatuh dan bagian pinggirnya pecah. Buang pun membuat duplikatnya. Sejak itulah pada setiap manggung Gong Sibolong yang asli tidak dibawa serta.
Gong Sibolong kini berada di rumah Buang. Gong tersebut ditempatkan secara khusus dan dirawat khusus pula setiap bulan Muharam.
Kepala Bidang Pariwisata, Seni, dan Budaya pada Dinas Olahraga, Pemuda, Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Depok Syaifudin Lubis menjelaskan, sebagai bentuk perhatian maka Pemkot Depok akan membukukan not-not irama Gong Sibolong. Tujuannya agar masyarakat dapat mempelajarinya.
Selain itu, pemkot kerap mengajak serta Kesenian Gong Sibolong tampil di berbagai acara. Misalnya pada Festival Depok.
"Untuk bantuan pendanaan, kami akan mengusulkan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat," ujar Syaifudin Lubis.
Sumber: Dodi Hasanudin, Warta Kota, 25-26 Januari 2010
Comments
Post a Comment