BAGUS Takwin, dosen Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Indonesia, terharu. Ia tak menyangka saat ia dan rekannya, Robertus Robert, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, digelari doktor, November 2010, akan mendapat hadiah kejuatan sebuah buku berjudul Speak-speak Filosofis. Buku ini berisi tulisan rekan-rekan sesama mahasiswa program pascasarjana dan doktoral yang kerap berdiskusi bersama di kios buku milik Cak Tarno (40).
Ia tak menyangka, usaha Cak Tarno menyemangati rekan-rekan mahasiswa itu akhirnya membuahkan buku. Bahkan, bersamaan dengan itu, di kios kecil di Jalan Sawo, Jalan Margonda, Kota Depok, Jawa Barat, sebelah stasiun Universitas Indonesia, digelar syukuran kecil.
"Kumpul-kumpul, makan bersama, wah, mengharukan," ujar Bagus Takwin.
Bagi mereka yang mengenalnya, sosok Cak Tarno dikenal getol, gempita semangatnya, rela memfotokopi makalah agar semua pemikiran bernas yang luruh dari atmosfir diskusi di kiosnya lestari dan dapat dinikmati kembali.
Ketika banyak mahasiswa, juga mereka yang telah memperoleh gelar doktor menyebut namanya sebagai yang turut berjasa dalam proses pendidikan mereka, Cak Tarno mengatakan, dia hanya menjalani fungsinya bagi ilmu pengetahuan. "Terserah bagaimana kemudian orang memaknai itu," ujarnya.
Baginya, perjumpaan melalui diskusi kritis yang terjadi di kiosnya atau saat dia menawarkan buku-buku dagangannya adalah ruang di mana gagasan dicurahkan dengan terbuka, lugas dalam relasi egaliter tanpa dominasi. "Itu baik bagi terjaganya sikap kritis para pelaku di dalamnya," ujar Cak Tarno.
Karena itu pula ia tidak pernah menjual buku-buku bajakan. Bukan karena royalti yang diterima para penulis kecil, melainkan itulah cara dia menghargai jerih payah mereka yang menghadirkan gagasan bermutu melalui tulisan.
Jiwa Terbuka
Panggilan "Cak", simbol kultural itu, dengan mudah menunjukan dari mana asal Sutarno. Lahir dari keluarga buruh tani di Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur, tidak pernah membuat Cak Tarno minder. Meskipun hanya lulus SMP, ia tidak pernah merasa terbatas untuk mengenal luasnya dunia ilmu pengetahuan.
Ia mencoba membaca teori-teori kritis dari mazhab Frankfurt; mencoba mengenal Jurgen Habermas, fenomenologi dari Conte, filsafat Proses dari Alfred North Whitehead, Sejarah Umat Manusia dari Arnold Toynbee, hingga Teori Tindakan Komunikatif dari Habermas. Tidak semua buku itu dia baca habis. Sebagian ia kenali dan coba jejaki hanya melalui indeks dan pengantar, semata-mata, didorong oleh alasan menjual buku-buku karya mereka. Meskipun begitu ia tidak pernah berhasil meredam keterpikatannya pada pemikiran mereka.
Maraknya aktivitas diskusi di kios Galeri Buku Cak Tarno, menurut beberapa mahasiswa, tidak lepas dari upaya Cak Tarno membuka diri pada ilmu pengetahuan, khusunya kajian berbasis humaniora. Contohnya, siang itu, Sabtu (17/4/2010) lalu, ketika jalan Sawo ramai lalu lalang mahasiswa, meja di kios Cak Tarno ramai dipenuhi orang. Mereka larut dalam diskusi tentang visualisasi sosiologis, menjejaki peran foto dalam pembentukan pemahaman. Cak Tarno ada dalam lingkaran diskusi itu. Ia larut didalamnya.
Ketika diskusi berakhir, Cak Tarno berkata lirih, ia sebenarnya hanya mengenal kulit-kulit pemikiran para tokoh, seperti Pierre Felix Bourdieu, sosiolog dan antropolog Perancis. Konsep pemikiran Bourdieu tentang modal yang dikategorikan, antara lain dalam modal sosial, modal budaya, dan simbolik, menarik perhatiannya.
Perjalanan
Meskipun melihat kehidupan buruh tani sebenarnya tidaklah memprihatinkan, dia enggan menekuninya. Alasannya, pekerjaan itu rentan karena sangat bergantung pada petani pemilik sawah.
Ketika petak-petak sawah di desanya rusak karena penambangan batu dan kemudian menjadi pabrik, Sutarno sudah berada ratusan kilometer dari Jatirejo. Berbekal niat memperbaiki nasib, dia mulai perjalanannya. Ia pernah menjadi buruh penarik kabel jaringan listrik tegangan tinggi. Pernah pula menjadi buruh bangunan, sebelum akhirnya pada tahun 1997 menjadi pembantu penjual buku di kaki lima Jalan Margonda, Depok.
Salah satu tugasnya menyusuri lapak-lapak barang bekas dari Depok Lama hingga Pasar Minggu untuk mencari buku bekas layak jual. "Honornya Rp 90.000 perbulan," kata Cak Tarno.
Beragam buku wajib bagi mahasiswa, termasuk versi bajakan dijualnya kala itu. Buku wajib dalam bidang ekonomi dan manajemen adalah yang paling laku.
Ketika banyak pedagang buku menawarkan tema-tema serupa dan pasar pun banjir, Cak Tarno berpikir keras untuk mempertahankan usahanya. Pilihannya jatuh pada buku-buku sosiologi, antropologi, politik, budaya hingga filsafat. Itulah celah yang menurut dia, tidak digemari para pedagang lain.
Tentu yang pertama ia tuai adalah kesulitan karena pasarnya kecil. Namun, ia memutuskan untuk menggeluti. "Lagi pula aku tertarik dengan tema-tema itu," ujarnya.
Justru pilihan itulah yang mempertemukan dia dengan dunia keilmuan serta ruang-ruang diskusi yang inspiratif. Awalnya, ia hanya mencoba membantu mahasiswa memperoleh referensi yang cocok dengan kajian yang tengah mereka geluti. "Pustakaloka" pada harian Kompas dan "Ruang Baca" pada harian Koran Tempo menjadi sumber acuan pencariannya.
Prinsipnya, khusus untuk permintaan buku berbasis ilmu-ilmu humaniora, ia berupaya tidak pernah mengatakan tak ada. Dari situ ia kemudian tahu buku-buku apa yang sesuai dengan penelitian Si A, atau yang cocok dengan kajian Si B. Ujungnya, ia menjadi rujukan banyak mahasiswa dan dosen dalam memperoleh buku referensi.
Ruang Diskusi
Komunikasi yang terbuka itu pula yang membuat kios Cak Tarno menjaadi ruang terbuka untuk berdiskusi. Bermula dari wacana tentang karikatur Nabi Muhammad pada 2005, kios buku Cak Tarno menjadi tempat nyaman bagi mahasiswa untuk mendialogkannya. Itulah awal lahirnya kelompok diskusi yang oleh beberapa orang disebut Cak Tarno Institute (CTI).
Dalam perkembangannya, banyak mahasiswa program magister dan doktoral menggunakan CTI untuk mengkaji tesis mereka sebelum diujikan di depan guru besar. Meskipun untuk itu ia mengaku kerap nombok biaya fotokopi materi diskusi.
"Enggak apa-apa, demi ilmu pengetahuan," ujarnya.
Beberapa waktu lalu, memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur, sekaligus 5 tahun CTI, Cak Tarno mengundang Adhie Massardi, Dr Bagus Takwin, dan Khotibul Umam menjadi panelis dalam diskusi di CTI. "Mereka bersedia datang, meskipun gratis. Banyak yang hadir," kata Cak Tarno.
Apakah ia akan terus menjalani usaha itu? Masa depan, tuturnya, adalah ruang-ruang kosong. Terserah nanti akan diisi apa.
Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010
Ia tak menyangka, usaha Cak Tarno menyemangati rekan-rekan mahasiswa itu akhirnya membuahkan buku. Bahkan, bersamaan dengan itu, di kios kecil di Jalan Sawo, Jalan Margonda, Kota Depok, Jawa Barat, sebelah stasiun Universitas Indonesia, digelar syukuran kecil.
"Kumpul-kumpul, makan bersama, wah, mengharukan," ujar Bagus Takwin.
Bagi mereka yang mengenalnya, sosok Cak Tarno dikenal getol, gempita semangatnya, rela memfotokopi makalah agar semua pemikiran bernas yang luruh dari atmosfir diskusi di kiosnya lestari dan dapat dinikmati kembali.
Ketika banyak mahasiswa, juga mereka yang telah memperoleh gelar doktor menyebut namanya sebagai yang turut berjasa dalam proses pendidikan mereka, Cak Tarno mengatakan, dia hanya menjalani fungsinya bagi ilmu pengetahuan. "Terserah bagaimana kemudian orang memaknai itu," ujarnya.
Baginya, perjumpaan melalui diskusi kritis yang terjadi di kiosnya atau saat dia menawarkan buku-buku dagangannya adalah ruang di mana gagasan dicurahkan dengan terbuka, lugas dalam relasi egaliter tanpa dominasi. "Itu baik bagi terjaganya sikap kritis para pelaku di dalamnya," ujar Cak Tarno.
Karena itu pula ia tidak pernah menjual buku-buku bajakan. Bukan karena royalti yang diterima para penulis kecil, melainkan itulah cara dia menghargai jerih payah mereka yang menghadirkan gagasan bermutu melalui tulisan.
Jiwa Terbuka
Panggilan "Cak", simbol kultural itu, dengan mudah menunjukan dari mana asal Sutarno. Lahir dari keluarga buruh tani di Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur, tidak pernah membuat Cak Tarno minder. Meskipun hanya lulus SMP, ia tidak pernah merasa terbatas untuk mengenal luasnya dunia ilmu pengetahuan.
Ia mencoba membaca teori-teori kritis dari mazhab Frankfurt; mencoba mengenal Jurgen Habermas, fenomenologi dari Conte, filsafat Proses dari Alfred North Whitehead, Sejarah Umat Manusia dari Arnold Toynbee, hingga Teori Tindakan Komunikatif dari Habermas. Tidak semua buku itu dia baca habis. Sebagian ia kenali dan coba jejaki hanya melalui indeks dan pengantar, semata-mata, didorong oleh alasan menjual buku-buku karya mereka. Meskipun begitu ia tidak pernah berhasil meredam keterpikatannya pada pemikiran mereka.
Maraknya aktivitas diskusi di kios Galeri Buku Cak Tarno, menurut beberapa mahasiswa, tidak lepas dari upaya Cak Tarno membuka diri pada ilmu pengetahuan, khusunya kajian berbasis humaniora. Contohnya, siang itu, Sabtu (17/4/2010) lalu, ketika jalan Sawo ramai lalu lalang mahasiswa, meja di kios Cak Tarno ramai dipenuhi orang. Mereka larut dalam diskusi tentang visualisasi sosiologis, menjejaki peran foto dalam pembentukan pemahaman. Cak Tarno ada dalam lingkaran diskusi itu. Ia larut didalamnya.
Ketika diskusi berakhir, Cak Tarno berkata lirih, ia sebenarnya hanya mengenal kulit-kulit pemikiran para tokoh, seperti Pierre Felix Bourdieu, sosiolog dan antropolog Perancis. Konsep pemikiran Bourdieu tentang modal yang dikategorikan, antara lain dalam modal sosial, modal budaya, dan simbolik, menarik perhatiannya.
Perjalanan
Meskipun melihat kehidupan buruh tani sebenarnya tidaklah memprihatinkan, dia enggan menekuninya. Alasannya, pekerjaan itu rentan karena sangat bergantung pada petani pemilik sawah.
Ketika petak-petak sawah di desanya rusak karena penambangan batu dan kemudian menjadi pabrik, Sutarno sudah berada ratusan kilometer dari Jatirejo. Berbekal niat memperbaiki nasib, dia mulai perjalanannya. Ia pernah menjadi buruh penarik kabel jaringan listrik tegangan tinggi. Pernah pula menjadi buruh bangunan, sebelum akhirnya pada tahun 1997 menjadi pembantu penjual buku di kaki lima Jalan Margonda, Depok.
Salah satu tugasnya menyusuri lapak-lapak barang bekas dari Depok Lama hingga Pasar Minggu untuk mencari buku bekas layak jual. "Honornya Rp 90.000 perbulan," kata Cak Tarno.
Beragam buku wajib bagi mahasiswa, termasuk versi bajakan dijualnya kala itu. Buku wajib dalam bidang ekonomi dan manajemen adalah yang paling laku.
Ketika banyak pedagang buku menawarkan tema-tema serupa dan pasar pun banjir, Cak Tarno berpikir keras untuk mempertahankan usahanya. Pilihannya jatuh pada buku-buku sosiologi, antropologi, politik, budaya hingga filsafat. Itulah celah yang menurut dia, tidak digemari para pedagang lain.
Tentu yang pertama ia tuai adalah kesulitan karena pasarnya kecil. Namun, ia memutuskan untuk menggeluti. "Lagi pula aku tertarik dengan tema-tema itu," ujarnya.
Justru pilihan itulah yang mempertemukan dia dengan dunia keilmuan serta ruang-ruang diskusi yang inspiratif. Awalnya, ia hanya mencoba membantu mahasiswa memperoleh referensi yang cocok dengan kajian yang tengah mereka geluti. "Pustakaloka" pada harian Kompas dan "Ruang Baca" pada harian Koran Tempo menjadi sumber acuan pencariannya.
Prinsipnya, khusus untuk permintaan buku berbasis ilmu-ilmu humaniora, ia berupaya tidak pernah mengatakan tak ada. Dari situ ia kemudian tahu buku-buku apa yang sesuai dengan penelitian Si A, atau yang cocok dengan kajian Si B. Ujungnya, ia menjadi rujukan banyak mahasiswa dan dosen dalam memperoleh buku referensi.
Ruang Diskusi
Komunikasi yang terbuka itu pula yang membuat kios Cak Tarno menjaadi ruang terbuka untuk berdiskusi. Bermula dari wacana tentang karikatur Nabi Muhammad pada 2005, kios buku Cak Tarno menjadi tempat nyaman bagi mahasiswa untuk mendialogkannya. Itulah awal lahirnya kelompok diskusi yang oleh beberapa orang disebut Cak Tarno Institute (CTI).
Dalam perkembangannya, banyak mahasiswa program magister dan doktoral menggunakan CTI untuk mengkaji tesis mereka sebelum diujikan di depan guru besar. Meskipun untuk itu ia mengaku kerap nombok biaya fotokopi materi diskusi.
"Enggak apa-apa, demi ilmu pengetahuan," ujarnya.
Beberapa waktu lalu, memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur, sekaligus 5 tahun CTI, Cak Tarno mengundang Adhie Massardi, Dr Bagus Takwin, dan Khotibul Umam menjadi panelis dalam diskusi di CTI. "Mereka bersedia datang, meskipun gratis. Banyak yang hadir," kata Cak Tarno.
Apakah ia akan terus menjalani usaha itu? Masa depan, tuturnya, adalah ruang-ruang kosong. Terserah nanti akan diisi apa.
Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010
Comments
Post a Comment