Nasib Rumah Tua Pondok Cina

CYBER City begitulah yang sering terucap oleh pejabat Kota Depok, Jawa barat, terkait dengan rencana mereka membangun kota masa depan. Sedikit aneh karena mereka lupa dengan mengabaikan nasib situs-situs peninggalan sejarah.

Sebagai salah satu kota yang selalu disebut dalam sejarah ibu kota Jakarta tentu sangat tragis jika Kota Depok tidak punya identitas saat menuju kota modern.

Depok yang dulunya menjadi kota terpenting di zaman penjajahan Belanda justru semakin hilang degupnya. Itu bisa terlihat dari puluhan bangunan bersejarah yang jadi saksi peradaban masyarakat Depok dahulu semakin sulit dijumpai. Tergilas oleh ratusan bangunan modern, pertokoan, dan mal.

Salah satunya adalah situs sejarah yang oleh orang lokal biasa disebut sebagai Rumah Tua Pondok Cina. Bangunan berarsitektur khas kolonial Hindia Belanda yang berumur ratusan tahun itu dipaksa terimpit di tengah bangunan raksasa supermodern Margo City Square (MCS), di Jalan Margonda Raya, Depok.
Bukannya dijadikan museum atau tempat masyarakat belajar sejarah kota, bangunan yang didirikan pada abad ke-16 ini justru disulap menjadi kafe dengan status kepemilikannya swasta.

The Old House Coffee, itulah sebutannya kini. Bagi siapa saja yang baru mengunjungi kawasan MCS, pasti akan terkejut. Paling tidak akan langsung memalingkan pandangan ke bangunan yang terlihat sangat mencolok jika dibandingkan dengan bangunan modern di sekelilingnya.

Dari jauh, bangunan berwarna putih pudar itu memang bergaya khas rumah tua Belanda. Sayangnya, sebagian besar bentuknya sudah dirombak sana-sini.

Bagian depan bangunan diberi pintu kaca. Furnitur asli dan ornamen-ornamennya sudah banyak yang hilang.

Tiga lampu gantung besar di ruang tengah menjadi satu-satunya furnitur kuno yang masih ada. Daun-daun pintu lebar dan jendela yang terbuatdari kayu jati sudah hilang. Hanya bersisa kerangka pintunya.

Meskipun ubin keramiknya masih asli, jika Anda masuk, aura bangunan lama tidak lagi kental terasa. Tergantikan dekorasi modern, ditambah etalase panjang lengkap dengan meja kasir maupun beberapa buah sofa, kursi, dan meja yang semakin memperkuat suasana kafe di dalamnya.

Tak hanya dijadikan tempat makan dan nongkrong pengunjung yang kebanyakan mudah-mudi, kafe ini pun mengadakan pertunjukkan live music pada malam tertentu Jumat, Sabtu, dan Minggu.

Rumah Tua Pondok Cina memang menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa di atas lahan seluas 1,5 hektare, dari hasil gusuran pembangunan kawasan perbelanjaan modern tersebut. Ditambah sebuah pohon asem tua berumur ratusan tahun yang konon tidak bisa ditebang clininsmv

Situs Tertua

Hingga saat ini, memang tidak ada bukti kuat berkenaan sejarah Rumah Tua Pondok Cina itu. Namun, menurut sejarawan Universitas Indonesia JJ Rizal, Rumah Tua Pondok Cina itu merupakan bangunan yang amat penting bagi sejarah masyarakat Depok. "Bangunan itu sebagai saksi lahirnya Kota Depok," jelasnya.

Bahkan Rizal memperkirakan bangunan tersebut sudah ada sejak abad ke-16 silam sebelum komunitas Belanda-Depok, yakni budak-budak Castelein, dimerdekakan (1741). Perkiraan itu dikaitkan dengan letak rumah tersebut yang berdekatan dengan jalur Sungai Ciliwung, yang saat itu menjadi pusat dari jalur perdagangan rempah dari pedalaman menuju Darmaga (Bogor) hingga Sunda Kelapa (Jakarta).

Sesuai dengan fakta pula, jalan terpenting di Kota Depok adalah Margonda yang sejak dahulu dikenal dengan Kampung Pondok Cina.

Pada waktu itu, pemimpin Depok yang merupakan pejabat tinggi VOC, Cornelis Castelein, melarang keras pedagang-pedagang keturunan Tionghoa bermukim di kawasan Depok atau yang dikenal dengan Depok Lama. Mereka hanya diperbolehkan berdagangdi kawasan itu pada pukul 08.00 hingga 17.00.

Oleh sebab itu, banyak pedagang Tionghoa yang singgah di kawasan Margonda dan membangun pondokan, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Pondok Cina. "Kawasan ini menjadi jalur penting perdagangan pada masa itu. Dan semuanya terpusat di Rumah Tua Pondok Cina tersebut," ujar Rizal.

Ada bukti kuat lain, yakni sebuah lukisan histografi yang dibuat Johannes Rach, pelukis Denmark zaman kolonial Hindia-Belanda yang banyak melukis pemandangan Indonesia. Ia membuat lukisan yang menunjukkan pentingnya jalur Ciliwung, terutama di sekitar Kampung Pondok Cina pada zaman Belanda.

Versi Lain

Versi sejarah lainnya menyebutkan bahwa Rumah Tua Pondok Cina dibangun pada 1841. Didirikan dan dimiliki seorang arsitek Belanda, tapi pada pertengahan abad ke-19 dibeli saudagar China Lauw Tek Lock dan diwariskan kepada putranya, Kapitan Der Chineezen Lauw Tjeng Shiang.

Disebutkan pula bahwa rumah tersebut sempat menjadi tempat persinggahan Cornelis Castelein.
Menurut Muhamad Hamim, 50, salah satu tokoh warga Pondok Cina bahwa sebelum MCS berdiri, kawasan sekitar Rumah Tua Pondok Cina merupakan lahan kosong dan tidak berpenghuni. Lokasi yang saat ini menjadi lapangan di depan MCS, dulunya rawa-rawa. Sementara itu, di belakang MCS bekas kuburan tua.

Kawasan sekitar Rumah Tua Pondok Cina pun didominasi semak belukar dan pepohonan. "Di sana dulunya kebun dan lapangan kosong, pohon karetnya besar dan tua. Satu-satunya bangunan, ya Rumah Tua Pondok Cina itu," ungkap Hamim.

Sebelum menjadi kafe, lanjutnya, bangunan tersebut sempat diperuntukkan menjadi sekolah SDN Pondok Cina 1, sekitar 1970-an ke belakang. Kemudian kosong selama puluhan tahun karena sekolah pindah ke gedung baru.

"Saya sempat sekolah di sana sekitar tahun 1974. Bangunan memang masih bergaya Belanda," ungkap pria yang asli kelahiran Pondok Cina, Depok, ini.

Rumah Tua Pondok Cina, ungkap Hamim, memang merupakan bangunan bernilai sejarah yang tinggi, terutama bagi masyarakat Pondok Cina. "Berkenaan dengan dijadikan cagar budaya atau tidak, kami masyarakat menyerahkan ke Pemda Depok. Yang pasti bangunan itu memang mempunyai nilai sejarah yang tinggi," katanya.

Sumber: Media Indonesia, 1 Mei 2011

Comments