Merayakan 17 Agustus Bersama 'Belanda Depok'

LEBIH dari setengah abad sudah Belanda meninggalkan Indonesia sebagai negeri jajahan. Banyak cerita dan peninggalan yang ditinggalkan negara itu pascapenjajahan yang di Jawa berusia 250 tahun. Salah satunya keberadaan keturunan 12 marga bekas budak yang dibebaskan saudagar Belanda, Cornelis Chastelein. Mereka bermukim di kawasan Depok Lama, Bogor, Jawa Barat, kerap disebut 'Belanda Depok'.



Indonesia Raya

Suasana peringatan 62 tahun kemerdekaan Indonesia masih mewarnai Depok, Jawa Barat hingga akhir Agustus ini. Kibaran bendera merah-putih masih menghiasi rumah-rumah dan sepanjang Jalan Pemuda, Depok Lama. Daerah ini dikenal sebagai tempat bermukim komunitas Belanda Depok. Kawasan ini berada di tengah-tengah kota Depok atau perbatasan antara kawasan Perumnas Depok I dan II. Jejeran rumah tua dengan konstruksi bangunan bergaya Belanda masih banyak ditemui di sekitar Jalan Pemuda.

Bendera merah-putih tak hanya berkibar di permukiman, tapi juga di gedung Sekolah Dasar Pancoran Mas dan SD Depok 2. Gedung sekolah ini dulunya adalah sekolah penginjilan dan sekolah anak-anak Belanda, sebelum dibubarkan pada 1942.

Laela Leander adalah salah satu keturunan Belanda yang tinggal di Depok. Namanya memang bermarga Belanda, tapi wajah Laela lebih tampak keturunan Ambon, kulit hitam dan rambut keriting. Laela adalah generasi ke tujuh marga Leander yang tinggal di Depok. Meski mengaku jarang berbaur dengan warga di luar komunitasnya, Laela mengaku jiwanya tetap merah-putih.

Laela Leander: "Sangat penting buat saya, arti kemerdekaan buat kita juga ya, istilahnya orang Depok yang sudah berbaur tambah bersatu lagi gitu aja, ngak ada perbedaan sudah seperti biasa saja dan harus terus dijaga saja"

Tidak Merasa Istimewa

Di sini, semangat merayakan kemerdekaan terasa sampai pelosok gang. Berbagai lomba menjadi kegiatan rutin komunitas Belanda Depok tiap perayaan 17an. Antonio Loen, yang sudah tinggal di sini sejak 60 tahun lalu, adalah salah seorang sesepuh Belanda Depok.

Antonio Loen: "Macem-macem, banyak, seluruh kegiatan dari olah raga, dari maen catur, badminton, tarik tambang itu ada, sampai naik pinang  itu ada… kita selalu ikut"

Meski sudah bertahun-tahun tinggal di Depok, sebutan 'Belanda Depok' ternyata meresahkan Sisca Bacas. Ia merasa sebutan itu membuatnya diperlakukan berbeda dengan warga Indonesia lain. Padahal, lahir batin, dia mengaku orang Indonesia.

Sisca Bacas: "Sama saja sih, ikut merayakan biasa sama semua pada umumnya, kayak warga negara Indonesia lainnya aja. Setelah kemerdekaan kan nggak ada khusus, nggak ada istimewanya kita orang Belanda. Karena kita angkatan setelah merdeka jadi nggak ada khususnya"

Bukan Antek Belanda

Demi memelihara nasionalisme, Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang beranggotakan keturunan Belanda Depok, mewajibkan setiap sekolah di kawasan komunitas ini untuk menggelar upacara bendera tiap 17 Agustus, sama seperti sekolah lainnya. Ketua LCC Valentino Jonathans menegaskan, tak ada alasan untuk tidak ikut merayakan kemerdekaan bangsa ini. Dia menggarisbawahi komunitas Belanda Depok tetap orang Indonesia, meski ada kata 'Belanda' di sana. Kami bukan antek Belanda, kata dia.

Valentino Jonathans: "Saya kira sama saja, kita bangsa indonesia bukan bangsa di luar indonesia. Jadi tetep merayakan 17 Agutus dengan tidak berbeda dengan yang lain. Sampai saat ini sekolah-sekolah di bawah yayasan juga mengadakan perlombaan-perlombaan, bahkan 17 Agustus upacara di sini. Dibilang Belanda Depok kita juga keberatan, karena kita asli orang-orang Indonesia yang diambil Cornelis Chastelein dari daerah Timur dibesarkan dan didik dan dibesarkan di sini"

Kini sebetulnya sudah tak ada lagi yang murni bisa disebut sebagai 'Belande Depok'. Sejarawan Universitas Indonesia JJ Rizal berkisah, sebagian besar mereka telah kawin campur dengan warga sekitar.

J.J. Rizal: "Sekarang udah nggak ada ya, bahkan kalau dulu memang anak emasnya pemerintah kolonial, bahkan dulu Depok punya presiden Depok dan keluarnya masih ada sekarang, tahun 60 berubah sama sekali. Banyak perkawinan campur dan tidak ada yang orang Belanda asli Indonesia terutama Bali dan Indonesia bagian timur. Tahun 60an, yang menarik cara mereka berasimilasi bermasyarakat melalui bintang sepak bolanya seperti Sudira itu bintang sepak bola Depok dulu"

Asal Muasal Belanda Depok

Belanda Depok tak lepas dari sejarah penjajahan Belanda. Ketika VOC masih berkuasa pada 1696, Cornelis Chastelein membeli tanah seribuan hektar mencakup Depok masa kini.

Sebagai tuan tanah, Chastelein punya 100an pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina. Ia juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para budaknya, lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkat Depok. Dari sinilah rupanya nama kota ini berasal.

Menjelang tutup usia pada 1714, Cornelis Chastelein menulis surat wasiat.

"...Maka hoetang jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe... dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,..."

Jadi Orang Merdeka


Selain wasiat itu. Cornelis Chastelein juga mewariskan tanahnya kepada seluruh budak yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status budak menjadi orang merdeka. Ada 12 marga yang sempat menjadi pekerja Cornelis Chastelein, yaitu marga Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholense, Isakh, Soedira, dan Sadokh. Kini sudah tidak ada lagi marga Sadokh karena sudah punah. Keturunan marga-marga inilah yang  kerap disebut 'Belanda Depok'.

Ketua Lembaga Cornelis Chastelein, Valentino Jonathans mengatakan, setidaknya ada tujuh ribu warga komunitas Belanda Depok yang terdaftar di Yayasan LCC. Mereka tersebar di berbagai daerah dan negara.

Valentino Jonathans: "Pada awalnya memang ada 150 seperti yang saya ceritakan, sekarang peninggalannya sekitar 7000-an kepala yang ada masih terdaftar itu di yayasan yang ada di Depok, saya kira masih banyak juga yang belum ada tidak terdaftar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya dan lain-lain, juga mungkin banyak saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri".

Di antara mereka, sepertiganya adalah keturunan asli Belanda yang menikah dengan orang Indonesia. Atau keluarga Belanda yang kadung senang tinggal di Indonesia.

Sekadar Label

Sebutan 'Belanda Depok' sebetulnya hanya label belaka bagi orang pribumi yang mendapatkan keistimewan dari pemerintah Belanda kala itu. Mereka menyandang 12 marga pekerja Cornelis Chastelein. Tapi kata sesepuh Belanda Depok, Antonio Loens, keistimewaan itu justru memicu kecemburuan warga lain. Mereka pun kerap dituding sebagai 'antek' Belanda saat menjajah Indonesia. Bahkan, kebudayaan Belanda dan perayaan hari kelahiran Cornelis Chastelein ikutan dilarang.

Antonio Loen: "Yang disebut Belanda sebenarnya orang memberikan julukan kepada kami sebagai penduduk asli Depok Belanda Depok, karena perilaku mereka seperti Belanda karena didik Belanda sebelum pribumi sekolah, kami sudah sekolah. Makanya revolusi 1945 warga Depok banyak yang tewas dibunuhin pejuang karena dianggap antek Belanda, karena berpuluh-puluh tahun hidup mendapat keistimewaan Belanda"

Kurang Membaur

Marga Belanda pemberian Chastelein rupanya bukan satu-satunya pemicu kecemburuan. Sesepuh masyarakat Betawi di Depok, Jamruh, menambahkan, ini juga karena mereka kurang berbaur dengan warga sekitar.

Jamruh: "Karena mereka itu anak cucunya yang 12 itu sampai sekarang ya, sehari-hari menggunakan Bahasa Belanda, karena sekolah yang dulunya diharuskan Bahasa Indonesia mereka tidak mau dan pake Bahasa Belanda. Dan mereka adat istiadat seperti orang Belanda, tidak mau dipanggil bapak, maunya oom atau menneer, yang perempuan tante".

Kecemburuan ini memuncak di tahun 1950an. Ratusan rumah orang Belanda Depok, yang kini jadi Stasiun Depok Lama, habis dibakar warga sekitar. Penyebabnya, kata Jamhur, mereka tak mengakui bendera merah-putih sebagai lambang negara.

Jamruh: "Katanya itu, disuruh pasang bendera merah putih tidak mau, menjawab salam merdeka juga nggak mau. Juga kemungkinan ada dendam lama orang-orang yang berada di luar mereka tertekan, mungkin tertekan oleh mereka tertekan oleh tuan tanah ya… banyak masalahnya".

Berubah


Kini komunitas Belanda Depok dan warga sekitar hidup damai. Jamhur bahkan kagum dengan kebiasaan dan komitmen komunitas ini dalam menjaga lingkungan.

Jamhur: "Jadi kalau yang namanya hukum, mereka tidak akan tawar-tawar lagi karena undang-undangnya gitu. Tapi kalau  diajak musyawarah agak susah, karena mereka dasarnya hukum aja. Contohnya diajak ronda nggak bakal mau karena ada polisi, begitu juga kebersihan itu bukan tugsa warga tapi tugas PU, tapi kalau bayar PBB mereka bayar duluan.

Sumber: Ranesi, KBR68H, 23-08-2007

Comments