Science Park, Ki Tamblek dan Rusa Itu

BELUM terasa ada keringat mengucur ketika mengitari Kampus Universitas Indonesia, padahal sudah 15 menit berjalan, Minggu (20/3). Pagi itu cerah sekali dan sesekali embun masih menetes dari dedaunan berpohon setinggi dua meter di sekitar Danau Kenanga.

Sebelumnya, suara air deras di selokan yang sepelemparan batu dari rel kereta sangat indah di dengar. Ingatan saya kembali menerawang suasana di dusun saat-saat masih bocah yang banyak menghabiskan waktu memancing dan berenang di kali yang bermuara ke Sungai Cijolang. Sungai yang menjadi batas tegas antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Berbahagialah warga Kota Depok, Jawa Barat, yang memiliki Kampus UI yang hijau dan ramah lingkungan. Kendati di sana-sini banyak sampah terutama plastik dan kertas sisa-sisa pedagang, tapi itu tidak mengurangi kekaguman saya yang menjadi warga Depok sejak dua tahun lalu.

Kampus UI yang menjadi paru-paru Kota Depok, menurut saya harus tetap lestari. Kampus UI ketika di era Orde Lama sebagai kampus rakyat saat di Salemba dan Rawamangun saya pikir lahir kembali di Depok di saat ruang publik di sekitar Margonda Raya habis tergerus mal, apartemen, ruko-ruko yang menghidangkan jenis perniagaan dan jasa mulai dari sate kiloan, perbankan, hingga pijat refleksi.

Kampus telah memberikan keleluasaan kepada publik darimana pun asalnya untuk menikmati kehijauan dedaunan dan oksigen yang dihasilkannya untuk dihirup bersama-sama.

Silakan untuk bersepeda sepuasnya karena kampus ini pun menyediakan jalur khusus untuk sepeda. Bagi Anda yang ingin cuma berjalan santai, berfoto bersama atau cuma hanya ingin menikmati danau yang kadang beriak, dipersilakan untuk menikmati sepuasnya.

Setelah puas berfoto dan menikmati ketenangan danau yang baru akan riuh dan berombak ketika ada selebrasi kelulusan, saya bergeser ke arah rektorat. Di kawasan Science Park melihat pohon Africanbaobab. Pohon-pohon tersebut diperkirakan sudah berusia lebih dari seabad (100 tahun). Rata-rata bertinggi 20 meter. Selama ini, pohon-pohon itu hidup di lahan kantor Regional I PT Sang Hyang Seri Sukamandi, Ciasem, Subang, dan di kebun tebu PT PG Rajawali II di Desa Manyingsal, Cipunagara, Subang, Jawa Barat.

Africanbaobab atau Adansonia digitata yang rata-rata berdiameter 3,5 meter, juga dikenal sebagai superfruit atau buah super. Berdasar penelitian ilmiah, pohon tersebut sangat bermanfaat. Daunnya lezat menyerupai daun kemangi, bisa dimakan mentah. Buahnya juga enak menyerupai cempedak. Kandungan vitamin C-nya enam kali lebih banyak dari jeruk.

Kandungan potasiumnya enam kali lebih banyak dari pisang. Kalsiumnya dua kali lebih tinggi dari susu. Begitu pula, zat besi, antioksidan, dan magnesiumnya sangat tinggi.

Warga setempat menyebut pohon tersebut Ki Tamblek karena identik dengan sesuatu yang mistis serta menyeramkan. Ditengarai, pohon itu ada di Subang karena dibawa penjajah Belanda. Yang luar biasa, di antara 10 pohon langka tersebut, ada yang sudah berusia 700 tahun.

Masih di sekitar Science Park yang juga berhadapan langsung dengan danau, berdiri megah landmark baru, berupa perpustakaan ramah lingkungan di kampus UI Depok. Pertengahan November nanti perpustakaan seluas tiga hektare itu siap beroperasi untuk umum.
 
Dari jauh, bangunan itu tampak seperti batuan kali yang disusun di atas bukit. Namun, ketika didekati, ternyata bukit hijau tempat para pekerja berdiri itu menyatu dengan bangunan mirip cerobong yang berdiri di atasnya. Di balik gundukan rerumputan hijau yang menjulang hingga beberapa ratus meter itu terdapat ruangan-ruangan kosong yang disiapkan sebagai ruang utama perpustakaan UI.
 
"Punggung bangunan itu kami timbun tanah dan ditanami rerumputan untuk mendinginkan suhu ruangan di dalamnya. Saat ini sudah 90 persen selesai," ujar Prof Emirhadi Suganda seperti ditulis Jawa Pos.

Perpustakaan UI yang dikerjakan sejak Juni 2009 itu dirancang sebagai gedung ramah lingkungan (eco friendly) terbesar di dunia. Luas bangunan keseluruhan 30 ribu meter persegi dan merupakan pengembangan dari perpustakaan pusat yang dibangun pada 1986-1987. Bangunan itu berdiri atas sokongan dana pemerintah dan kalangan industri dengan anggaran sekitar Rp 110 miliar.

Prof Emirhadi mengatakan, gedung perpustakaan tersebut dirancang dengan konsep sustainable building bahwa kebutuhan energi menggunakan sumber energi terbarukan, yakni energi matahari (solar energy). Selain itu, di dalam gedung pengunjung dan pegawai tidak boleh membawa tas plastik untuk wadah. Area bangunan ramah lingkungan itu bebas asap rokok, hemat listrik, dan air.

Setelah puas menikmati keindahan arsitektur perpustakan sambil berharap suatu waktu dapat menikmati keindahan dan fasilitas di perpusatakaan UI, saya pun beringsut melawati Jalan Prof. Selo Soemardjan. Melihat papan jalan ini saya jadi teringat kembali nama sosiolog legendaris ini. Bukunya sempat saya baca ketika awal kuliah di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) ketika awal-awal masuk Institut Pertanian Bogor (IPB).

Buku-buku karangan Selo Soemardjan adalah buku pelangkap selain buku-buku utama karangan Profesor Sayogyo, guru besar sosiologi pedesaan di IPB. Ah, jadi terkenang lagi saat-saat kuliah di kampus Baranangsiang, Jalan Padjadjaran yang bila musim kapuk tiba,  kampus seperti musim salju. Kapuk-kapuk beterbangan disapu angin yang datang dari arah Kebun Raya Bogor.

Kampus UI juga ternyata memiliki puluhan rusa di sekitar jalan pintas antara Stasiun UI dan Pusat Studi Jepang. Rusa-rusa di sana sangat menarik perhatian anak-anak. Ada ibu-ibu yang sengaja membawa sayur-sayuran seperti kol dan wortel untuk menarik perhatian rusa-rusa tersebut yang sangat jinak.

Rusa selama ini banyak ditemukan di Kebun Raya Bogor. Kini rusa juga dikembangkan di kawasan Monas, Taman Makam Pahlawan dan juga Kompleks Parlemen Senayan.

Comments